Membedakan Pungutan PPh 22 dan Potongan PPh Final bagi Pemasok Pabrikan

Ivan Hanifa Rahman

Sektor manufaktur menyerap bahan baku dari pemasok lokal, yang dikenai PPh 22 (0,25%) atau PPh Final PP 55 (0,5%). PPh 22 butuh pembukuan dan bisa dikreditkan, sedangkan PPh Final cukup dicatat dan tak perlu dilaporkan lagi jika sudah dipotong oleh pabrikan.

Sektor manufaktur atau industri pabrikan memegang peran yang sangat vital dalam perekonomian nasional. Dengan skala produksi yang besar, sektor ini membutuhkan bahan baku dalam jumlah besar. Salah satu sumber bahan baku ini adalah pemasok lokal di sekitar pabrik.

Sebagai contoh, pabrik tepung di Provinsi Lampung mendapatkan bahan baku singkong dari petani lokal. Berdasarkan data Kementerian Pertanian Tahun 2023, produksi singkong di Lampung mencapai 7,25 juta ton. Angka ini menunjukkan kontribusi besar terhadap perekonomian masyarakat lokal. 

Pemasok/supplier pabrikan adalah pihak yang menyuplai bahan baku produksi kepada pabrik untuk proses produksi. Jenis bahan baku yang disuplai sangat bervariasi, tergantung jenis pabriknya.

Bahan baku dapat berasal dari sektor perkebunan, kehutanan, pertanian, perikanan, atau sektor lainnya. Proses suplai barang ini terkait erat dengan transaksi perdagangan, di mana pemasok menjual produknya ke pabrikan dan menerima imbal balik berupa penghasilan.

Atas penghasilan ini, pabrikan akan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan (PPh). Pemungutan pajak ini dapat berupa PPh Pasal 22 atau PPh Final PP 55, yang nantinya disetorkan ke kas negara.

Pemungutan PPh Pasal 22

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34/PMK.010/2017, pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan baku dari sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan kepada pemasok (penerima penghasilan). Jumlah pungutan ini sebesar 0,25% dari harga pembelian.

Bagi pabrikan (pemungut), pajak yang dipungut wajib disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Selain itu, pabrikan juga wajib memberikan bukti pungut kepada pemasok sebagai bukti pemungutan pajak. Bukti pungut ini menjadi kredit pajak bagi pemasok yang dapat diperhitungkan dengan pajak terutang saat melaporkan SPT Tahunan.

Pemotongan PPh Final PP 55 

Pemotongan PPh Final Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022 mengacu pada fasilitas pemotongan PPh sebesar 0,5%, yang lebih dikenal sebagai PPh UMKM.

Untuk memanfaatkan fasilitas ini, pemasok wajib memberikan surat keterangan PP 55 kepada pabrikan, yang dapat diunduh melalui layanan akun pajak.go.id masing-masing pemasok.

Pabrikan kemudian akan memotong pajak sebesar 0,5% dan memberikan bukti potong PPh final kepada pemasok. Karena penghasilan tersebut sudah dikenakan PPh Final, pemasok tidak perlu lagi memperhitungkan penghasilan dari transaksi ini saat melaporkan SPT Tahunan. 

Hal yang Perlu Diperhatikan

Pemasok sebagai pihak yang dipungut atau dipotong wajib mengetahui apakah mereka dikenai PPh Final atau dipungut PPh 22. Pengecekan ini dapat dilakukan melalui layanan akun pajak.go.id masing-masing pemasok.

Hal ini penting karena perlakuan subjek pajak yang dipungut PPh 22 berbeda dengan yang dipotong PPh Final PP 55.

Pemasok yang dipungut PPh 22 wajib melakukan pembukuan terkait laba-rugi usahanya, kemudian memperhitungkan pajak yang masih harus dibayar dengan kredit PPh 22 yang telah dipungut sebelumnya.

Sementara itu, pemasok pengguna PPh Final PP 55 cukup melakukan pencatatan omset untuk menghitung pajak yang masih harus dibayar. Penyetoran sendiri PPh Final PP 55 hanya dilakukan atas omset yang belum dipotong PPh Final, sementara untuk omset yang belum dipotong tidak perlu disetor secara mandiri karena sudah disetorkan oleh pabrikan yang melakukan pemotongan.

Ivan Hanifa Rahman, Alumni PKN STAN; Pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.