Agnesya Maharani
Coretax hadir sebagai inovasi digital pajak, namun aksesnya belum merata. Wilayah 3T dan kelompok rentan menghadapi kendala infrastruktur dan literasi. Sinergi pentahelix diperlukan agar reformasi perpajakan inklusif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Reformasi administrasi perpajakan Indonesia telah memasuki babak baru melalui peluncuran Core Tax Administration System (Coretax), sebuah sistem terpadu yang mengandalkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan pajak (Wati, 2024).
Salah satu fitur andalan sistem ini adalah kemudahan registrasi berbasis daring (online) yang memungkinkan wajib pajak untuk mendaftar secara mandiri, cepat, dan tanpa tatap muka.
Namun, di balik narasi inovasi ini, tersembunyi fakta bahwa tidak semua masyarakat memiliki akses dan kemampuan yang setara untuk memanfaatkan fitur tersebut. Di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta di kalangan masyarakat dengan literasi digital rendah, proses registrasi justru menjadi tantangan baru (Belahouaoui & Attak, 2024).
Hal ini tercermin dari tingkat penetrasi internet di setiap pulau di Indonesia yang masih mengalami ketimpangan.

Sumber: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2024)
Maluku dan Papua memiliki tingkat kontribusi terendah, yaitu sebesar 2,77%. Angka ini sangat timpang dengan Pulau Jawa yang memiliki tingkat kontribusi tertinggi yaitu 58,76%.
Ketimpangan infrastruktur, keterbatasan dukungan teknis, hingga permasalahan validasi data menjadi kendala yang kerap luput dari sorotan publik.
⠀
Coretax dan Inovasi Registrasi Digital
Coretax hadir sebagai bagian dari reformasi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mentransformasi proses administrasi perpajakan menjadi lebih modern dan berbasis data.
Salah satu elemen penting dalam sistem ini adalah fitur registrasi digital mandiri yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pendaftaran sebagai wajib pajak melalui platform online. Sistem ini mengandalkan verifikasi data secara otomatis dan integrasi dengan sistem identitas nasional seperti Dukcapil (Salsabila, 2025).
Dibanding sistem sebelumnya, registrasi digital Coretax menawarkan keunggulan dalam hal efisiensi waktu, pengurangan tatap muka, transparansi, serta kemudahan validasi data. Harapannya, fitur ini dapat memperluas basis pajak dengan menjangkau lebih banyak wajib pajak potensial, terutama dari kelompok yang sebelumnya belum terdaftar.
⠀
Kesenjangan Akses di Wilayah 3T dan Rentan
Dalam praktiknya, tidak semua masyarakat memiliki kondisi yang ideal untuk memanfaatkan kemudahan registrasi digital.
Wilayah 3T menghadapi kendala infrastruktur digital yang serius. Jaringan internet yang lemah atau bahkan tidak tersedia menyebabkan proses registrasi daring menjadi tidak mungkin dilakukan.
Selain itu, literasi digital dan perpajakan di kalangan masyarakat pedesaan, pelaku UMKM informal, serta lansia juga masih rendah (Ciptawan et al., 2025; Mawaranty & Furqon, 2025). Mereka kerap merasa kebingungan saat dihadapkan dengan antarmuka sistem digital, bahkan untuk sekadar mengakses formulir pendaftaran.
Di sisi lain, sistem validasi yang bergantung pada sinkronisasi data Dukcapil juga tidak selalu berjalan mulus (Grehenson, 2025). Gagalnya proses verifikasi NIK akibat data yang tidak sinkron atau berbeda ejaan merupakan salah satu keluhan umum yang menghambat registrasi.
⠀
Dampak Ketimpangan Akses
Perbedaan akses terhadap fitur registrasi digital ini dapat mempengaruhi capaian tujuan implementasi Coretax. Kesulitan dalam proses pendaftaran membuat target peningkatan jumlah wajib pajak baru menjadi lebih menantang.
Sebagian calon wajib pajak dari daerah terpencil dan kelompok rentan mungkin belum dapat terakomodasi secara optimal. Kondisi ini dapat menciptakan kesenjangan partisipasi dalam sistem perpajakan, di mana kelompok yang memiliki akses dan kemampuan digital lebih diuntungkan.
Hal ini berpotensi menghambat pencapaian tujuan inklusivitas dalam reformasi administrasi pajak. Di samping itu, pengalaman yang kurang optimal dalam proses registrasi dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap pelayanan perpajakan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang mendorong pemerataan akses agar seluruh warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi sebagai wajib pajak.
⠀
Penguatan Kolaborasi dengan Model Pentahelix
Untuk mewujudkan perubahan yang optimal diperlukan sinergi lintas sektoral dan koordinasi dari berbagai elemen. Untuk mencapai hasil terbaik, semua pihak yang terlibat, termasuk akademisi, sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemerintah, harus bekerja sama. Oleh karena itu, model pentahelix digunakan dalam memetakan sinergi seluruh stakeholders.
Model pentahelix adalah kerangka kerja kolaboratif yang berfokus pada sinergi lima pemangku kepentingan atau sektor utama untuk bekerja sama menuju tujuan yang diinginkan (Sudiana et al., 2020). Adapun pihak-pihak yang terlibat meliputi pemerintah, masyarakat, akademisi, media, dan industri swasta.

Sumber: diolah penulis
Dalam konteks pemerataan akses registrasi digital Coretax di wilayah 3T, sinergi pentahelix dapat dimulai dari peran pemerintah pusat, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagai pemegang otoritas kebijakan dan pelaksana utama sistem administrasi perpajakan.
DJP bertanggung jawab dalam menyediakan infrastruktur sistem registrasi yang andal serta memperkuat layanan di tingkat lokal melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).
Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam memfasilitasi sarana digital dan menjangkau masyarakat setempat. Akademisi, seperti peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga kajian fiskal, dapat memberikan kontribusi melalui riset berbasis data terkait literasi digital, ketimpangan akses, serta evaluasi implementasi Coretax di daerah.
Sektor swasta, khususnya penyedia layanan teknologi informasi dan penyelenggara telekomunikasi seperti Telkom Indonesia atau startup digital lokal, dapat menyediakan infrastruktur internet, perangkat lunak pendukung registrasi, serta pelatihan teknologi adaptif di wilayah yang sulit dijangkau.
Organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal seperti kelompok UMKM, koperasi desa, dan organisasi keagamaan dapat menjadi mitra strategis dalam melakukan pendampingan masyarakat, menyebarluaskan informasi, dan meningkatkan kesadaran pajak secara kontekstual dan berkelanjutan.
Terakhir, media massa dan media digital—baik nasional maupun lokal—berperan sebagai jembatan komunikasi publik untuk menyampaikan informasi perpajakan dengan cara yang lebih sederhana, interaktif, dan menjangkau masyarakat luas, termasuk melalui kampanye edukasi berbasis video, infografis, atau siaran komunitas.

Sumber: diolah penulis
Dengan peran spesifik dari masing-masing elemen, ekosistem pendukung Coretax akan semakin kuat dalam mewujudkan pelayanan perpajakan yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia.
Registrasi merupakan pintu masuk menuju sistem perpajakan yang inklusif dan berkeadilan. Keberhasilan fitur registrasi dalam Coretax tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologinya, tetapi juga oleh kemampuannya menjangkau seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Transformasi digital perpajakan tidak boleh menjadi agenda eksklusif kota besar, melainkan harus menjelma menjadi gerakan nasional yang merangkul seluruh warga negara, termasuk mereka yang selama ini tertinggal.
Dengan demikian, Coretax bukan hanya menjadi simbol reformasi administrasi, tetapi juga fondasi bagi terciptanya sistem perpajakan yang adil dan inklusif.
⠀
Daftar Pustaka
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2024). Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024.
Belahouaoui, R., & Attak, E. H. (2024). Digital Taxation, Artificial Intelligence and Tax Administration 3.0: Improving Tax Compliance Behavior – A Systematic Literature Review Using Textometry (2016–2023). Accounting Research Journal. https://doi.org/10.1108/arj-12-2023-0372
Ciptawan, Parerungan, S. D., & Hantono. (2025). Dampak Kebijakan Perpajakan Digital terhadap Pelaporan Pajak UMKM di Era Ekonomi Platform. Journal Scientific of Mandalika (JSM) e-ISSN 2745-5955 | p-ISSN 2809-0543, 6(2), 456–465. https://doi.org/10.36312/10.36312/vol6iss2pp456-465
Grehenson, G. (2025). Coretax Masih Bermasalah, Ekonom UGM Sebut Ada 4 Penyebab Utamanya – Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/coretax-masih-bermasalah-ekonom-ugm-sebut-ada-4-penyebab-utamanya/
Mawaranty, T. D. S., & Furqon, I. K. (2025). Optimalisasi e-Filing sebagai Solusi Modern untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 17(1), 77–85. https://doi.org/10.55049/jeb.v17i1.398
Salsabila, K. L. (2025). Coretax DJP, Era NPWP 16 Digit. https://pajak.go.id/id/artikel/coretax-djp-era-npwp-16-digit
Sudiana, K., Sule, E. T., Soemaryani, I., & Yunizar, Y. (2020). The Development And Validation Of The Penta Helix Construct. Business: Theory and Practice, 21(1), 136–145. https://doi.org/10.3846/btp.2020.11231
Wati, N. A. A. (2024, November). Coretax: Sistem Canggih Tingkatkan Kepatuhan Sukarela. https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/coretax-sistem-canggih-tingkatkan-kepatuhan-sukarela
⠀
Agnesya Maharani, Mahasiswi Manajemen Keuangan Negara Konsentrasi Treasuri PKN STAN; Kepala Subbidang Knowledge Sharing di Asisten Prodi Manajemen Keuangan Negara 2024/2025.
Editor: Andrean Rifaldo