Yackobus Sahat Martua Sianipar
Fluktuasi kurs asing menimbulkan laba dan rugi selisih kurs dalam laporan keuangan. Menurut UU PPh, keuntungan kurs dikenakan pajak penghasilan, sedangkan kerugian kurs dapat menjadi pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Beberapa waktu terakhir, sangat banyak diberitakan kalau Rupiah sedang melemah terhadap beberapa mata uang asing. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tarif impor yang ditetapkan Amerika Serikat, kondisi politik, dan kebijakan global maupun dalam negeri lainnya.
Sebagai negara yang perekonomiannya terbuka, volatilitas kurs menjadi faktor yang menentukan keberlangsungan usaha. Di mana letak pengaruhnya? Bagaimana akuntansi pajak memandang hal ini?
Melalui tulisan ini, diharapkan para wajib pajak yang telah maupun akan memiliki transaksi dengan valuta asing dapat lebih memahami hak dan kewajibannya.
⠀
Pencatatan Akuntansi
Bila berbicara tentang pencatatan akuntansi, maka akan merujuk kepada PSAK sebagai standar baku dalam pencatatan dan pelaporan di Indonesia. PSAK yang mengatur tentang transaksi dengan valuta asing adalah PSAK 221.
Pada paragraf 21, disebutkan bahwa, “Pada pengakuan awal, transaksi valuta asing dicatat dalam mata uang fungsional. Jumlah valuta asing dihitung ke dalam mata uang fungsional dengan kurs spot antara mata uang fungsional dan valuta asing pada tanggal transaksi”.
Mata uang fungsional adalah mata uang pada lingkungan ekonomi utama entitas beroperasi, atau mata uang yang biasa digunakan entitas tersebut beroperasi. Kurs spot adalah kurs untuk realisasi segera, atau kurs yang ada saat transaksi itu terjadi.
Pada intinya, setiap transaksi yang terjadi dalam mata uang asing yang disepakati kedua belah pihak, maka di dalam pelaporan atau pencatatan masing-masing pihak harus ditranslasi ke dalam mata uang fungsional masing-masing.
Sebagai contoh, PT A (di Indonesia dengan mata uang fungsional Rupiah) melakukan penjualan secara kredit kepada B Corp (di Amerika, dengan mata uang fungsional dolar AS), disepakati transaksi dalam mata uang Euro.
Dengan begitu, baik di posisi si PT A maupun B Corp., transaksi ini adalah transaksi dengan valuta asing. PT A harus men-translasi transaksi tersebut ke Rupiah, begitu pula dengan B Corp. yang harus men-translasi ke dolar AS.
Merujuk contoh yang sebelumnya, transaksi cross-border seperti ini cenderung dilakukan dalam bentuk kredit di mana penyelesaian transaksi tidak terjadi dalam satu waktu.
Dampaknya adalah akan terdapat perbedaan nilai kurs yang digunakan atas penjabaran penyelesaian transaksinya karena kurs mata uang sangat volatil. Selisihnya bisa dalam bentuk kerugian ataupun keuntungan, tergantung posisi kekuatan mata uang fungsional masing-masing pihak.
Kembali ke contoh, PT A menjual persediaan secara kredit kepada B Corp pada tanggal 15 Mei 2025, dengan menyepakati transaksi dalam mata uang Euro. Nilai transaksi yang disepakati adalah 1,000 Euro. B Corp akan membayar utangnya pada tanggal 16 Juni 2025.
Adapun informasi kurs yang tersedia adalah:
| 15 Mei 2025 | 16 Juni 2025 |
| 1 dolar AS = 0,88 Euro | 1 dolar AS = 0,78 Euro |
| 1 Euro = 18.400 Rupiah | 1 Euro = 18.600 |
Pada 15 Mei 2025,
- PT A akan mencatat piutangnya dalam Rupiah (menjabarkannya dalam mata uang fungsionalnya), yaitu 1.000 Euro × 18.400 = Rp18.400.000
- B Corp. akan menjabarkannya juga dalam pencatatannya menjadi 1.000 Euro × (1/0,88) = 1.136 dolar AS.
Atas utang-piutang tersebut harus diselesaikan dan penyelesaiannya menggunakan kurs spot pada saat tanggal penyelesaian.
Pada 16 Juni 2025, PT A haruslah menerima pelunasan kas senilai 1,000 Euro. Akan tetapi, 1,000 Euro yang diterimanya harus ditranslasi ke Rupiah dalam pencatatannya, sehingga akan tercatat menjadi 1,000 Euro × 18.600 = Rp18.600.000.
Terlihat ada selisih lebih tinggi yang diterima PT A atas pelunasan piutang penjualannya yaitu Rp18.600.000 –Rp18.400.000 = Rp200.000.
Sementara itu, B Corp. akan melunasi dengan membayar 1.000 Euro dan dalam pencatatannya juga harus ditranslasi terlebih dahulu menjadi 1.000 Euro × 1/0,78 = 1,282 dolar AS. Terlihat bahwa B Corp. harus melunasi utangnya dengan nilai yang lebih tinggi sebesar 1,282 dolar AS – 1,136 dolar AS = 146 USD.
Masing-masing pihak tetap membayar utang atas pembelian dan menerima pembayaran atas piutang penjualannya tetap sesuai nilai yang disepakati, yaitu 1.000 Euro. Akan tetapi, perubahan kurs akan menimbulkan selisih. Selisih tersebut diakui sebagai kerugianoleh B Corp. Dan keuntungan oleh PT A.
Selisih kurs tersebut akan dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi apabila terealisasi/terselesaikan dalam periode berjalan.
Akan tetapi, terdapat pula selisih kurs yang timbul selain penyelesaian transaksi, seperti selisih yang timbul karena proses konsolidasi investasi neto induk pada kegiatan usaha di luar negeri. Selisih kurs tersebut akan dilaporkan sebagai Penghasilan Komprehensif Lainnya (Other Comprehensive Income/OCI).
⠀
Ketentuan Pajak
Contoh sebelumnya menunjukkan bahwa transaksi dengan mata uang asing dapat menimbulkan kemungkinan selisih lebih dan kurang yang disebabkan oleh perubahan kurs. Lalu, bagaimana pajak memperlakukan selisih tersebut?
Selisih kurs diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Pasal 4 ayat (1) huruf lUU PPhmenetapkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang termasuk keuntungan dari selisih kurs mata uang asing. Dengan begitu, selisih lebih yang timbul akibat penjabaran mata uang asing akan diperlakukan sebagai objek pajak penghasilan non final.
Perhitungan pajaknya akan digabungkan dengan penghasilan non final lainnya dan dikenakan tarif progresif sesuai Pasal 17 UU PPh.
Perlu diingat, pajak menerapkan prinsip kepastian. Dengan demikian, selisih kurs yang dimaksud dalam UU PPh adalah selisih kurs yang telah direalisasi (realized) atau yang terdapat dalam Laporan Laba Rugi. Sementara itu, selisih kurs yang ada dalam Penghasilan Komprehensif Lainnya tidak termasuk objek pajak.
Kemudian, Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh menyatakan bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dari kerugian selisih kurs mata uang asing.
Dengan begitu, apabila terjadi selisih kurang yang disebabkan oleh penjabaran transaksi mata uang asing ke dalam mata uang fungsional, wajib pajak dapat memperlakukannya sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan neto kena pajak. Ketentuan jenis selisih mana yang diakui sama dengan pengakuan objek pajak penghasilan
Yang perlu menjadi catatan bagi Wajib Pajak atas kedua hal tersebut adalah kegiatan tersebut harus dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
⠀
Yackobus Sahat Martua Sianipar, Staf Prestasi PUSPA PKN STAN 2024–2025; Pegawai Tugas Belajar Direktorat Jenderal Pajak.
Editor: Andrean Rifaldo
