Nifail Al Ahza
Rasio pajak Indonesia terus ditingkatkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Beragam upaya dilakukan, termasuk perluasan basis pajak, penyesuaian kebijakan, serta pembaruan sistem administrasi. Kolaborasi semua pihak menjadi kunci keberhasilan.
Rasio pajak (tax ratio) adalah indikator yang menggambarkan kesehatan fiskal. Umumnya, rasio pajak menggambarkan tingkat efisiensi dan efektivitas negara dalam menerapkan pemungutan pajak.
Semakin tinggi rasio pajak, maka semakin banyak bagian kue perekonomian—didefinisikan secara umum sebagai Produk Domestik Bruto (PDB)—yang disisihkan untuk mengisi kas negara.
⠀
Rasio Pajak Indonesia
Indonesia, negara dengan valuasi paritas daya beli terbesar ke-7 di dunia, menghadapi tantangan yang serius dalam menangani rasio pajak yang relatif rendah.
Data menunjukkan, meskipun dengan PDB nominal yang mencapai 1,4 triliun USD, rasio pajak yang dimiliki oleh Indonesia berada pada angka 10,31 persen (PUSAKA, 2024).
Angka tersebut cukup jauh dari kondisi ideal yang ditetapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menyatakan bahwa kondisi ideal rasio pajak adalah 15 persen dari PDB atau minimal 12 persen dari PDB.
Rendahnya rasio pajak adalah indikasi tidak optimalnya penggalian potensi dari aktivitas perekonomian yang ada. Padahal, pajak merupakan sumber utama pendanaan pembangunan dan program kesejahteraan sosial.
Rendahnya rasio pajak ini disebabkan oleh beberapa faktor fundamental, mulai dari tingginya aktivitas ekonomi informal, kepatuhan pajak yang masih rendah, hingga sistem administrasi perpajakan yang memerlukan pembenahan.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam buku yang berjudul Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024 menyebutkan bahwa ada dua determinan utama yang mempengaruhi rasio pajak.
Pertama, yaitu faktor struktural. Faktor struktural adalah karakteristik suatu negara yang menjadi ciri khas perekonomian. Artinya, tantangan penerimaan pajak melekat pada karakter dari perekonomian negara tersebut.
Sebagai contoh, dalam beberapa negara yang memiliki sektor agrikultur yang besar, skema perpajakan dinilai sangat sulit karena banyak aktivitas pertanian yang bersifat informal dan tidak memiliki dokumentasi yang memadai. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah serta insentif yang diberikan kepada petani juga menurunkan penerimaan pada sektor pertanian.
Kedua, kebijakan dan sistem administrasi sangat memengaruhi penerimaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Aizenman et al (2019) menemukan bahwa rasio pajak terhadap PDB di Asia berkorelasi positif dengan efektivitas pemerintah dan kualitas kelembagaan.
Artinya, pada pemerintah yang mampu memberikan sinyal kualitas yang baik, orang-orang cenderung untuk memiliki kesediaan membayar yang lebih tinggi.
⠀
Meningkatkan Rasio Pajak
Menjamah ranah struktural, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menjamah broad base rule untuk menguantifikasi ekonomi bayangan (shadow economy). Salah satu pionir pelaksanaan langkah ini adalah pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) yang berlaku mulai tahun 2020 lalu.
Upaya ini kemudian dilanjutkan dengan penetapan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang di dalamnya mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Cukai Kantong Plastik, Cukai Minuman Berpemanis, dan Pajak Karbon.
Upaya perluasan basis pemajakan yang terakhir adalah penetapan Cukai Rokok Elektrik dan Produk Tembakau Lainnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.
Bersamaan dengan upaya penguatan basis pemajakan, Kemenkeu juga upayakan penyesuaian tarif dan pemberian insentif. Penyesuaian tarif ini dapat dilihat pada pemberlakuan PPN 11 persen per 1 April 2022, penambahan lapisan pada tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP), dan penyesuaian tarif PPh Badan.
Selanjutnya, contoh pemberian insentif dalam lima tahun terakhir sebagai bentuk penyesuaian atas dinamika perekonomian adalah Insentif Pajak Covid-19, Tax Holiday, Super Deduction Tax, Tax Allowances, Insentif Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Insentif Industri Pionir.
Memulai reformasi administrasi, saat ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). SIAP dikembangkan selama delapan tahun dan memiliki dasar hukum Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.
Dengan adanya PSIAP, terdapat 21 proses bisnis yang akan digabung dalam satu wadah. Penggabungan ini merupakan salah satu upaya DJP untuk menciptakan integrasi perpajakan sesuai dengan visinya yaitu Mantap (mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti).
SIAP bertujuan untuk meningkatkan akurasi proses bisnis perpajakan. Dengan adanya penyatuan 21 proses bisnis dalam web yang terintegrasi, akan tercipta akses data yang real-time, layanan yang unggul dan akuntabel.
Selain memudahkan wajib pajak melalui Taxpayer Portal, SIAP memungkinkan otomatisasi dan integrasi berbagai fungsi pajak seperti compliance risk management (CRM) dan manajemen data wajib pajak, yang diharapkan mengurangi beban manual pada pegawai DJP.
Sejalan dengan pembenahan struktural dan administrasi, peningkatan kualitas kelembagaan dilakukan lebih dulu oleh DJP melalui langkah-langkah besar yang disebut sebagai Reformasi Perpajakan atau Tax Reform.
Reformasi Perpajakan sudah melalui dua fase, yaitu Reformasi Jilid I pada tahun 2000 sampai dengan 2001 yang bertema Modernisasi Administrasi Perpajakan, dan Reformasi Jilid II pada tahun 2009 dengan tema Pembenahan Mutu dan Integritas sumber daya manusia, pembenahan prosedur operasi standar (SOP), penerapan Indikator Kinerja Utama (IKU), dan penilaian pekerjaan (job grading).
Saat ini, DJP sedang memulai tahap akhir dari Reformasi Perpajakan Jilid III dengan puncaknya adalah peluncuran PSIAP.
⠀
Harapan Masa Depan
Meskipun rasio pajak Indonesia masih tergolong rendah, pemerintah telah mengambil langkah-langkah komprehensif untuk meningkatkannya.
Upaya pembenahan mencakup pelebaran basis pajak, penyesuaian tarif, pemberian insentif, serta reformasi administratif melalui implementasi SIAP. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak, serta menjawab tantangan struktural dan kelembagaan.
Dengan semakin optimalnya penerimaan pajak, Indonesia dapat mengalokasikan sumber daya keuangan yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur, program kesejahteraan, dan agenda-agenda strategis lainnya demi mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Kerja keras pemerintah dalam membenahi rasio pajak harus didukung oleh partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Dengan memahami peran pajak sebagai fondasi pembiayaan negara, diharapkan tingkat kepatuhan dan penerimaan masyarakat terhadap upaya reformasi perpajakan semakin menguat.
Dengan sinergi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, rasio pajak Indonesia dapat mencapai titik ideal yang diharapkan.
⠀
Nifail Al Ahza, Staf Kajian dan Penelitian Pusat Studi Perpajakan (PUSPA) PKN STAN 2024–2025; Pegawai Tugas Belajar Direktorat Jenderal Pajak.
Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.
Editor: Andrean Rifaldo