Yadira Pradnya Eksanta
Kebijakan CBAM Uni Eropa menekan ekspor padat karbon Indonesia, tapi jadi dorongan bagi Indonesia mempercepat penerapan pajak karbon demi menjaga daya saing dan kedaulatan fiskal.
Hubungan kerja sama bilateral di bidang perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa telah berlangsung sejak tahun 2016 melalui negosiasi Free Trade Agreement (FTA) atau Perjanjian Perdagangan Bebas. Kerja sama ini mendukung kemajuan sektor perekonomian Indonesia di mana Uni Eropa secara konsisten menjadi mitra dagang utama bagi Indonesia.
Data dari European Commission menyatakan bahwa Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar kelima bagi Indonesia dengan porsi sebesar 6.4% dari total perdagangan nasional.
Secara spesifik, nilai perdagangan barang bilateral antara Uni Eropa dan Indonesia tercatat sebesar €27.3 miliar, dengan neraca nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa mencapai €17.5 miliar dan neraca nilai impor dari Uni Eropa ke Indonesia mencapai €9.7 miliar.
Apabila dilihat dari kacamata Indonesia selaku mitra dagang Uni Eropa, Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar €7.8 miliar (€17.5 miliar-€9.7 miliar). Artinya, Uni Eropa menempati posisi cukup vital sebagai pasar tujuan ekspor bagi perekonomian Indonesia.
Di antara beragam komoditas ekspor Indonesia, produk industri padat karbon, seperti besi dan baja, termasuk dalam sepuluh komoditas dengan nilai ekspor nonmigas terbesar pada Januari 2025, yaitu sebesar 10.41%.
Dilansir dari Kontan.id (2025), Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis data yang menunjukkan bahwa nilai ekspor besi dan baja ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 28.49% dengan nilai ekspor besi dan baja ke Uni Eropa pada periode Januari-Agustus 2025 menembus USD1.25 miliar.
⠀
Munculnya Kebijakan CBAM
Di tengah kemitraan dagang yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Uni Eropa, muncul sebuah dinamika baru yang berpotensi menguji hubungan kerja sama bilateral di antara keduanya.
Dalam rangka mencapai target ambisius hijaunya (Net Zero Emission atau NZE) pada tahun 2050, Uni Eropa memperkenalkan kebijakan iklim yang memiliki dampak lintas batas, yang dikenal dengan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Kebijakan ini mempengaruhi ekspor produk industri padat karbon dari Indonesia ke Uni Eropa, seperti besi dan baja.
CBAM merupakan regulasi baru dari Uni Eropa untuk menurunkan tingkat emisi karbon di negaranya dengan mengenakan tarif tambahan atau pajak bea masuk terhadap barang padat karbon yang diimpor ke Uni Eropa sesuai dengan jumlah barang padat karbon yang diimpor.
CBAM dipilih Uni Eropa sebagai solusi global dari masalah perubahan iklim guna memitigasi risiko kebocoran karbon dari negara-negara non-Uni Eropa yang memiliki kebijakan iklim lebih longgar. Secara spesifik, produk padat karbon yang dimaksud terdiri atas semen, aluminium, pupuk, besi dan baja, hidrogen, serta listrik.
Aplikasi CBAM terbagi atas dua tahapan.
Pertama, fase transisi yang berlaku mulai 1 Oktober 2023 sampai tahun 2025. Fase transisi merupakan periode persiapan bagi setiap perusahaan yang mengirim barang impor padat karbon ke Uni Eropa.
Pada fase ini, para importir belum dikenai biaya karbon. Kewajiban mereka hanyalah melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari produk yang mereka impor tanpa perlu membeli atau menyerahkan sertifikat CBAM.
Pelaporan ini mencakup emisi langsung, yaitu emisi dari proses produksi yang dimiliki atau dikendalikan oleh produsen, serta emisi tidak langsung, yaitu emisi dari produksi listrik yang dibeli dan digunakan oleh produsen untuk membuat barang tersebut.
Kedua, fase definitif yang berlaku mulai 1 Januari 2026. Pada tahap ini, importir tidak hanya melapor, melainkan mulai melaksanakan kewajiban finansial sesungguhnya. Importir yang terdaftar secara resmi wajib membeli Sertifikat CBAM.
Harga sertifikat tersebut bersifat fluktuatif karena mengacu langsung pada rata-rata mingguan di pasar karbon internal Uni Eropa (EU ETS atau European Union Emissions Trading System).
Secara sederhana, EU ETS merupakan instrumen kebijakan Uni Eropa dalam mengurangi gas rumah kaca. Acuan ini berguna untuk memastikan biaya yang adil antara produk impor dan produk lokal.
Importir wajib mendeklarasikan total emisi dari barang yang mereka impor dan menyerahkan sertifikat yang jumlahnya setara sebagai bentuk pembayaran atas jejak karbon yang masuk.
⠀
Dampak CBAM pada Ekspor Besi dan Baja
Kebijakan CBAM memberikan konsekuensi bagi eksportir dari Indonesia, khususnya para eksportir produk padat karbon, seperti besi dan baja.
Pertama, beban biaya. Importir Uni Eropa berpotensi membebankan biaya pembelian sertifikat CBAM kepada produsen di Indonesia, baik melalui negosiasi harga jual yang lebih rendah, maupun permintaan penggantian biaya secara langsung.
Pembebanan biaya pada akhirnya dapat meningkatkan harga sehingga mengurangi daya saing harga produk besi dan baja dari Indonesia di pasar Uni Eropa.
Kedua, beban administratif. Tuntutan pelaporan data emisi yang rumit dan harus terverifikasi menjadi hambatan non-tarif tersendiri.
Kegagalan dalam menyediakan data yang akurat berpotensi menyebabkan importir di Uni Eropa beralih ke pemasok dari negara lain yang lebih siap dengan adanya kebijakan CBAM sehingga Indonesia berisiko kehilangan pangsa pasarnya.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut secara tidak langsung menjadi titik di mana isu perdagangan bertemu dengan kebijakan fiskal domestik. Hal ini karena CBAM tidak hanya berpotensi menjadi hambatan non-tarif baru, melainkan juga secara fundamental memaksa Indonesia untuk mengakselerasi kebijakan harga karbonnya sendiri melalui penerapan Pajak Karbon di lingkup domestik.
⠀
Kerangka Pajak Karbon di Indonesia
Dorongan untuk mengakselerasi kebijakan harga karbon bertemu dengan fakta bahwa Indonesia sebenarnya telah meletakkan fondasi hukum yang kokoh terkait dengan penerapan Pajak Karbon. Fondasi tersebut tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Secara spesifik, UU HPP Bab VI Pasal 13 ayat (5) menyatakan bahwa subjek Pajak Karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Selanjutnya, Pasal 13 ayat (6) menyatakan bahwa pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon pada jumlah tertentu dan pada periode tertentu.
Pajak Karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan, atau dikenal dengan eksternalitas negatif.
Pengenaan Pajak Karbon dikenakan atas dua mekanisme utama yang saling melengkapi, yaitu:
1. Perdagangan karbon (cap and trade)
Pada skema ini, entitas yang emisinya melebihi batas atas (cap) harus membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) yang dijual oleh entitas lain dengan emisinya yang berada di bawah batas atas (cap).
Skema ini pada akhirnya menciptakan dua keuntungan efisiensi utama.
Bagi entitas bersih (di bawah cap), muncul insentif finansial untuk tetap bersih atau lebih bersih karena mereka dapat menjual sisa kuota emisi mereka sebagai SIE dan mendapat keuntungan.
Sementara itu, bagi entitas boros (di atas cap), mereka memperoleh pilihan yang lebih efisien secara biaya. Alih-alih melakukan investasi teknologi mahal (pengeluaran besar) untuk mengurangi emisi, mereka dapat membeli SIE dari entitas lain dengan harga yang (idealnya) lebih rendah.
2. Pajak karbon (carbon tax)
Di Indonesia, penerapan Pajak Karbon menggunakan skema cap and tax.
Skema ini mengharuskan entitas dengan emisi yang melebihi batas atas (cap) untuk membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE). Namun, apabila masih memiliki sisa emisi setelah dilakukan pembelian SIE, sisa emisi tersebut wajib dikenai Pajak Karbon sesuai tarif yang berlaku.
Dalam implementasinya, sebagaimana tercantum dalam UU HPP Pasal 13 ayat (9), tarif Pajak Karbon telah ditetapkan paling rendah sebesar Rp30/kg karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau Rp30.000 per ton CO2e.
Penetapan tarif yang lebih rendah dari harga pasar karbon di yurisdiksi lain bertujuan untuk memberikan sinyal harga (price signal) awal kepada pelaku usaha tanpa menimbulkan guncangan ekonomi (economic shock).
Meskipun implementasi penuhnya—yang semula dijadwalkan mulai 1 April 2022 untuk sektor PLTU batubara—mengalami penyesuaian untuk memastikan kesiapan infrastruktur dan kondisi ekonomi, keberadaan kerangka hukum untuk Pajak Karbon sangat fundamental.
Artinya, secara prinsip, Indonesia telah memiliki perangkat legal dan finansial yang dibutuhkan. Namun, kerangka hukum domestik yang fundamental inilah yang kini dihadapkan pada sebuah dilema kebijakan eksternal, yang datang dari mekanisme CBAM itu sendiri.
⠀
Dilema Kedaulatan Fiskal ”Tax it or Lose it”
Dilema kebijakan tersebut terletak pada klausul krusial dalam regulasi CBAM: biaya sertifikat CBAM yang harus dibayar oleh importir di Uni Eropa dapat dikurangi (dikreditkan) atau bahkan ditiadakan jika eksportir dapat membuktikan bahwa harga karbon yang setara telah dibayarkan di negara asal.
Klausul inilah yang menciptakan prinsip “Tax it or Lose it” (Pajaki atau Kehilangan Potensinya).
Tanpa adanya penerapan Pajak Karbon yang efektif sebagaimana diamanatkan dalam UU HPP, penerimaan atas emisi karbon dari produk Indonesia akan berpindah tangan dan menjadi pemasukan bagi otoritas Uni Eropa melalui pembelian sertifikat CBAM.
Dengan demikian, CBAM secara tidak langsung mentransformasi keputusan kebijakan lingkungan domestik yang sebelumnya bersifat pilihan menjadi sebuah isu kedaulatan fiskal yang mendesak dan memiliki konsekuensi fiskal secara langsung.
⠀
Kesimpulan
Pada awalnya, CBAM tampak sebagai ancaman dalam kerangka kemitraan strategis. Namun, pada akhirnya, CBAM dapat berfungsi sebagai katalisator eksternal yang kuat.
Kebijakan ini mengakselerasi urgensi implementasi Pajak Karbon nasional yang sebelumnya berjalan lambat sehingga mendorong Indonesia untuk segera menegakkan kedaulatan fiskalnya.
Penerapan Pajak Karbon yang efektif sesuai UU HPP dapat memberikan manfaat ganda.
Di satu sisi, Indonesia berhasil mengamankan potensi penerimaan negara yang seharusnya menjadi haknya (Tax it or Lose it), juga secara simultan mendorong agenda dekarbonisasi, dan mendukung pengembangan industri hijau.
Di sisi lain, kebijakan ini memberikan kepastian dan melindungi daya saing para eksportir—seperti produsen besi dan baja. Dengan membayar pajak karbon domestik yang terukur, para eksportir memiliki dasar legal untuk mendapatkan pengurangan biaya CBAM di Uni Eropa sehingga memitigasi risiko kerugian dagang dan menjaga stabilitas perdagangan nasional.
Langkah ini membuktikan bahwa kebijakan fiskal yang responsif dapat mengubah tantangan global menjadi peluang strategis untuk mencapai pembangunan ekonomi berkelanjutan, sekaligus memenuhi target Net Zero Emission (NZE) nasional.
⠀
Daftar Pustaka
European Commission. (t.t). Carbon Border Adjustment Mechanism. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://taxation-customs.ec.europa.eu/carbon-border-adjustment-mechanism_en#cbam-transitional-phase-2023–2025.
European Commission. (t.t). Trade and Economic Security. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://policy.trade.ec.europa.eu/eu-trade-relationships-country-and-region/countries-and-regions/indonesia_en.
Kontan.co.id. (2025). Kemendag: Ekspor Baja RI Melesat 22% dalam Lima Tahun, Permintaan Global Masih Kuat. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://industri.kontan.co.id/news/kemendag-ekspor-baja-ri-melesat-22-dalam-lima-tahun-permintaan-global-masih-kuat.
Mediakeuangan.kemenkeu.go.id. (2024). Menuju Implementasi Pajak Karbon. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/menuju-implementasi-pajak-karbon.
Pajak.go.id. (2023). Cap-and-Tax, Cara Inovatif Indonesia dalam Mengatasi Eksternalitas Karbon. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://pajak.go.id/id/artikel/cap-and-tax-cara-inovatif-indonesia-dalam-mengatasi-eksternalitas-karbon.
Pajak.go.id. (2025). Pajak Karbon sebagai Solusi menuju Era Keberlanjutan Bangsa. Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-karbon-sebagai-solusi-menuju-era-berkelanjutan-bangsa.
Pajak.go.id. (2025). Pajak Karbon, Solusi Pendanaan APBN yang Berkelanjutan? Diakses pada 26 Oktober 2025, dari https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-karbon-solusi-pendanaan-apbn-yang-berkelanjutan.
Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246.
⠀
Yadira Pradnya Eksanta, Staf Subbidang Kepenulisan Ilmiah dan Populer di Asisten Prodi Manajemen Keuangan Negara 2024/2025
Editor: Andrean Rifaldo
Gambar: Jacek Dylag/Unsplash
