Taktik Indonesia Mencari Ramuan Pajak Multinasional

Jody Pratama Pongtiku

Penerimaan pajak masih didominasi PPh Non-Migas yang rawan. Tantangan besar datang dari ekonomi informal dan geopolitik, sementara peluang muncul dari perkembangan ekonomi digital dan Pajak Minimum Global.

Realisasi penerimaan pajak pada struktur APBN Tahun 2024 masih didominasi oleh PPh Non-Migas dengan persentase sebesar 51,6% dari total penerimaan pajak yang diterima. Bergantung pada segmen ini tentu bukanlah hal yang baik. PPh Non-Migas ini berpengaruh terhadap orang pribadi dalam negeri serta badan.

Bagi orang pribadi, ini tentu dapat menurunkan kemampuan daya beli mereka, di mana ini cukup krusial mengingat proporsi konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Iklim investasi untuk Wajib Pajak Badan juga akan bergantung dari besaran pajak penghasilan ini. Besaran tarif pajak ini juga mempengaruhi daya tarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan tentunya pemerintah Indonesia berkompetisi dengan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Singkatnya, pajak penghasilan ini begitu sensitif, sehingga bergantung banyak pada segmen ini bukanlah rencana yang bagus.

Indonesia juga dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang cukup rumit. Tekanan geopolitik semakin memanas dan kondisi sosial ekonomi Indonesia masih tertekan.

Saat ini, Indonesia masih dibayang-bayangi oleh dominasi ekonomi informal. Hal ini juga yang menjadi penyebab sulitnya Indonesia untuk meningkatkan rasio pajaknya.

Mengenakan pajak atas ekonomi informal ini masih menjadi PR yang serius bagi Indonesia, karena banyak pelaku usaha di sektor ini kesulitan memenuhi persyaratan administrasi seperti pembukuan dan rekening bank, yang membuat pengawasan sulit bagi Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, sektor ini didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.

Oleh karena itu, Indonesia dituntut untuk meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak sebagai solusi untuk meningkatkan rasio pajak sembari mencari solusi atas rumitnya mengenakan pajak atas ekonomi informal.

Perekonomian global saat ini telah bergeser ke era digital, di mana seluruh transaksi tak lagi memerlukan kehadiran fisik.

Saat ini, bisnis digital telah berkembang cukup pesat di Indonesia melalui perdagangan e-commerce. Bisa dikatakan bahwa perdagangan e-commerce merupakan pasar yang menarik, sehingga Direktorat Jenderal Pajak perlu berhati-hati jika ingin mengenakan pajak dari sini.

Sebelumnya, Indonesia telah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE). Pajak ini dapat dikatakan berhasil setelah mencatatkan penerimaan dari sektor PMSE sebesar Rp8,44 triliun pada 2024.

Namun, yang menjadi perhatian adalah iklim bisnis digital ini dibentuk dari banyaknya perusahaan multinasional yang masuk ke ekonomi Indonesia.

Perusahaan multinasional saat ini tidak perlu membangun kantor fisik di Indonesia, seperti konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang saat ini berlaku. Model pajak ini tentunya perlu dikembangkan agar dapat beradaptasi dengan model bisnis digital.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 mengenai Pengenaan Pajak Minimum Global berdasarkan kesepakatan internasional.

Aturan ini menetapkan tarif pajak minimum global sebesar 15% sebagai implementasi dari Two-Pillar Solution yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kepastian hukum, menciptakan keadilan sistem perpajakan, serta mencegah praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.

Bagi Indonesia, penerapan pajak minimum global juga menjadi strategi untuk melindungi basis pajak nasional, sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dari sektor bisnis digital yang terus berkembang pesat.

Namun, Indonesia perlu berhati-hati dalam mengenakan pajak ini. Salah satu masalah yang perlu menjadi perhatian adalah pergerakan geopolitik yang dilakukan oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.

Donald Trump sendiri telah mengenakan tarif sebesar 19% untuk terhadap ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat, setelah sebelumnya diputuskan untuk dikenakan sebesar 32%. Ia juga menjadi salah satu presiden yang menentang kebijakan OECD dalam mengenakan pajak mininum global ini.

Menurutnya, kebijakan ini tidak berpengaruh sama sekali bagi perekonomian Amerika Serikat. Jika Indonesia mengenakan pajak ini terhadap perusahaan Amerika Serikat, Trump dapat membalasnya dengan mengenakan tarif yang lebih besar terhadap Indonesia.

Tentu ini merupakan ancaman yang perlu diantisipasi oleh Indonesia, namun tidak merusak kedaulatan Indonesia sebagai negara yang berhak mengenakan pajak tersebut.

Struktur penerimaan pajak Indonesia masih sangat bergantung pada PPh Non-Migas yang sensitif terhadap daya beli masyarakat dan iklim investasi, sehingga perluasan basis penerimaan perlu diperkuat.

Tantangan besar lainnya adalah dominasi ekonomi informal yang sulit dipajaki karena keterbatasan administrasi dan karakteristik pelakunya.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital membuka peluang penerimaan baru, sebagaimana tercermin dari keberhasilan PPN PMSE, meski pengaturan lebih lanjut masih diperlukan.

Implementasi Pajak Minimum Global melalui PMK 136/2024 diharapkan memperkuat basis pajak dan mencegah penghindaran pajak, meski risiko geopolitik, terutama dari Amerika Serikat, tetap perlu diantisipasi.

Harapannya, Indonesia dapat terlepas dari ketergantungannya terhadap Pajak Penghasilan Non-Migas serta memaksimalkan sektor bisnis digital sebagai sektor terbarukan perpajakan Indonesia.

Jody Pratama Pongtiku, Staf Kajian dan Penelitian PUSPA PKN STAN 2023–2025; Pegawai Tugas Belajar Direktorat Jenderal Pajak

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak merefleksikan sikap atau pandangan redaksi PUSPA PKN STAN.